Perekonomian dan sistem perekonomian Indonesia menjadi sesuatu yang perlu diamati kembali. Sistem perekonomian Indonesia sebenarnya sudah jelas pada konstitusi dasarnya yaitu UUD 1945 (sebelum diamandemen) melalui Pasal 33 mengenai sektor produksi berikut penjelasannya. Para pengamandemen UUD 1945 tidak menyadari telah melakukan perubahan yang brutal karena tidak pernah memahami sejarah perjuangan bangsanya, sehingga perubahan (dikatakan amandemen) yang dilakukan mencerabut filosofi dasar yang ada.
Contoh yang paling dirasakan adalah mengurangi pilar demokrasi yang diajukan oleh para founding fathers yang telah mempelajari perkembangan demokrasi dunia dan kondisi bangsa Indonesia. Demokrasi dunia berkembang menurut tradisi dan berproses secara alamiah, sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berlebihan. Pola Inggris menunjukkan hak demokrasi merupakan pemberian dari kerajaan, sehingga menjadi monarki berkonstitusi atau monarki berdemokrasi. Pola Perancis menghasilkan demokrasi persamaan dari individualita, sehingga menghasilkan liberalisme. Sedangkan kondisi Indonesia, menyebabkan Para Pendiri Bangsa menyadari bahwa pertama, tidak semua rakyat bergabung dalam suatu partai politik. Kedua, berkembangnya pekerjaan dan bidang kerja berikut manusia yang terlibat di dalamnya. Ketiga, kondisi geografis dan etnis menyebabkan perlunya keterwakilan daerah berikut etnisnya. Semangat kebersamaan yang telah tumbuh dari masing-masing perlu dikembangkan terus menerus, buka dengan menciptakan musuh terus menerus agar terus bersatu. Hal itu bukanlah jiwa dan semangat yang tumbuh di masyarakat Indonesia yang dikenal dengan gotong royong.
Para akademisi menyadari bahwa Pasal 33 UUD 1945 (yang belum diamandemen) merujuk bahwa Indonesia menganut sistem ekonomi campuran yaitu peran Pemerintah dan mekanisme Pasar merupakan keniscayaan dalam sistem ekonomi Indonesia, namun bukan berarti mengorbankan masyarakat dan rakyat keseluruhan kepada para pemilik modal dan mekanisme pasar. Untuk itu Pancasila sebagai dasar negara merupakan leitstar statis dan leitstar dinamis.
Tidak ada yang meragukan bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara merupakan acuan filosofis dalam menetapkan kebijaksanaan bernegara dan berbangsa, termasuk kebijaksanaan ekonomi. Dasar dan pesan moral dalam Sila KeTuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab merupakan acuan yang seharusnya terlihat dalam berbagai kebijaksanaan ekonomi. Demokrasi yang menjadi sendi dasar kehidupan Republik hampir tidak terlihat selama rezim Orde Baru, kalau ada tidak lebih dari bagian dari pertunjukan untuk dikonsumsikan pada pihak/negara lain bahwa di Indonesia masih ada demokrasi. Beban terberat dari kebijaksanaan ekonomi di Indonesia adalah melaksanakan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia agar persatuan Indonesia terwujud dalam suasana demokrasi politik yang dinamis dan kesejahteraan ekonomi yang dirasakan oleh seluruh Rakyat. Membicarakan Pancasila dalam kaitan dengan Ekonomi Indonesia oleh sementara orang dianggap klasik dan membosankan ( terutama oleh para ahli ekonomi main stream). Anggapan tersebut tidak berlebihan, karena memang keadaan ekonomi dan praktek ekonomi selama ini belum ada yang mencerminkan dan dirasakan sebagai implementasi Pancasila.
Dari sudut kebijaksanaan ekonomi, UUD 1945 (yang dianggap sederhana dan saat ini sedang meningkat tuntutan untuk diamandemen, terutama oleh mereka yang kurang memahami perjalanan sejarah bangsa) telah meletakkan bentuk atau format perekonomian Indonesia melalui pasal 33 berikut penjelasannya. Pada ayat-ayat Pasal 33 secara jelas penyusunan perekonomian Indonesia dan asasnya, peranan Negara, dan fungsi kekayaan alam. Kemudian dalam penjelasan Pasal 33 disebutkan bangun koperasi (kemudian menjadi perdebatan antara apakah bentuk organisasi atau semangat koperasi) sebagai bangun usaha yang paling sesuai, peranan Negara hanya ditujukan untuk hal-hal yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sedang perusahaan perorangan hanya dibolehkan untuk hal-hal yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak. Perkembangan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa usaha perorangan (baca Swasta) yang mengedepan dan melibas usaha koperasi, bahkan BUMN sebagai representasi Pemerintah/Negara akhirnya diprivatisasi. Masalah privatisasi menjadi menarik, karena pada saat pendukung koperasi mendesak bentuk koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan Pasal 33, pendukung swasta menyatakan bahwa yang penting semangatnya seperti koperasi (dan sampai sekarang jangankan semangatnya, baunya saja belum). Tetapi pada saat beberapa BUMN kinerjanya terpuruk, maka ide privatisasi dilaksanakan tanpa ampun dan bukan semangatnya. Ironisnya justeru pada saat pemujaan swastanisasi, swasta yang diwakili para konglomerat telah menunjukkan kegagalannya. Oleh karena itu nampaknya reformasi dan restrukturisasi lembaga-lembaga ekonomi menjadi kebutuhan mutlak dengan pengaturan yang proporsional agar tidak ada lembaga ekonomi yang menjadi anak emas dan lainnya menjadi obyek belas kasihan. Pengaturan lembaga ekonomi tidak lagi terpisah-pisah antara Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Peraturan Pemerintah/Menteri tentang BUMN, dan Undang-Undang Koperasi yang selanjutnya berimplikasi kepada pengaturan pajak dan kebijaksanaan perbankan yang secara proporsional berpihak kepada bagian terbesar lembaga ekonomi dengan prinsip keterbukaan dan berkeadilan.
Masalah perpajakan yang merupakan kekuasaan Negara dan ditetapkan oleh undang-undang (artinya ditetapkan oleh wakil-wakil rakyat di DPR-Pasal 23) merupakan sumber penerimaan Negara dan juga berfungsi mengatur. Kecenderungan yang ada, bahwa fungsi penerimaan yang lebih banyak ditonjolkan, sehingga pembayar pajak terbesar perlu diberikan penghargaan dan diumumkan. Tentang fungsi pengaturan nampaknya belum terlihat (sepanjang pengetahuan penulis belum ada studi hasil pengaturan dari pajak terhadap pendapatan ataupun lembaga ekonomi). Fungsi pengaturan inilah sebenarnya yang perlu dikedepankan oleh Pemerintah berdasar Pasal 23 UUD 1945, yang tidak lain adalah kebijaksanaan ekonomi publik. Kebijaksanaan ekonomi publik (Pasal 23) oleh Pemerintah yang diharapkan dapat mengendalikan ekses/penyim-pangan dari pelaksanaan Pasal 33.
Kebijaksanaan ekonomi publik selain pajak, Pasal 23 juga mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja sebagai bagian dari kebijakan fiskal dan kebijakan pengaturan uang (kebijakan moneter) yang tidak seorangpun akan menyangkal bahwa hal tersebut sangat berpengaruh kepada aktivitas perekonomian nasional, produksi nasional, penyerapan tenaga kerja, dan seterusnya. Di sinilah peran Pemerintah sebagai agen pembangunan. Melalui pajak sebagai sumber penerimaan dan pengaturan (keseimbangan dan keadilan), kebijakan moneter, dan kebijaksanaan anggaran Pemerintah menjalankan kebijaksanaan ekonomi publik yang harus benar-benar berpihak kepada publik. Prioritas pembangunan dapat diarahkan kepada penanggulangan masalah ketenaga kerjaan termasuk peningkatan mutu tenaga kerja, sehingga memperoleh penghidupan yang layak secara manusiawi sebagaimana juga diamanatkan oleh Pasal 27(2) UUD 1945.
Apabila rangkaian pengaturan kebijaksanaan ekonomi publik (pasal 23), pengaturan kebijaksanaan produksi nasional atau aktivitas perekonomian bukan publik (Pasal 33), dan mengatasi masalah ketenaga kerjaan (Pasal 27), mengakibatkan kemampuan Ekonomi Nasional meningkat, maka tanggung jawab sosial Pemerintah/Negara akan mampu menangani bagian masyarakat yang tidak atau belum beruntung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34.
Perkembangan praktek sistem perekonomian Indonesia saat ini,
Sejak masa Orde Baru, Pancasila yang diproyekkan dengan P-4 tidak lebih dari memposisikan Pancasila sebagai leitstar statis, sehingga implikasinya kepada seluruh aspek kehidupan berbangsa bernegara menjadi lebih tersentralisir. Dalam khasanah ilmu politik disebut pelaksanaan demokrasi pada masa ini lebih bersifat diktator mayoritas yang dilaksanakan atau dicerminkan oleh partai yang selalu menang pemilu. Jiwa dan semangat keterwakilan rakyat dimanipulasi dengan pengaturan. Sistem perekonomian telah mewariskan pemihakan kepada pemilik modal dan mekanisme pasar mulai merambah dan menggerogoti kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Orde Baru melahirkan konglomerat yang tidak bertanggungjawab sebagaimana terbukti pada krisis ekonomi yang bermula pada paruh kedua tahun 1997. Bayi lain yang dilahirkan adalah ketergantungan kepada pihak asing yang dengan pandainya memuji-muji keajaiban pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan ukuran-ukuran yang dirancang sebagai sarana penjajahan bentuk baru.
Reformasi yang dimulai 1998, hanya mengganti penguasa dan tidak mengembalikan sistem ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar. Bahkan cenderung mekanisme pasar menjadi merajalela menguasai kehidupan perekonomian Indonesia. Kekuatan politik masyarakat yang telah lebih berat kepada wakil-wakil rakyat, malah cenderung memberikan tekanan yang lebih berat kepada pembangunan. Dewan Perwakilan Rakyat justeru berebut menikmati hasil pembangunan melalui berbagai pengeluaran anggaran yang tidak masuk akal. Kemudian terjadilah perubahan UUD 1945 yang diakui sebagai keberhasilan demokrasi. Perubahan yang terjadi pada sistem perekonomian cenderung makin memberatkan Rakyat. Keterlibatan asing yang diwaktu Orde Baru dilaksanakan dengan malu-malu, pada reformasi malah diberikan keleluasaan yang sebesar-bearnya. Protes yang terjadi bukanlah karena kesadaran nasional, tetapi lebih mewakili kepentingan usahawan yang baru lahir dari kalangan politisi. Suatu imitasi (peniruan) dari Amerika yang sebagaian besar Presidennya adalah terliibat dalam usaha perminyakan internasional. Karena itu tidak aneh, jika terdapat upaya-upaya pengelabuan praktek yang diharuskan dalam mekanisme pasar, pembelian perangkat hukum untuk melegalisir semua langkah-langkah pengusaaan dalam mekanisme pasar. Pengkerdilan Badan Usaha Milik Negara sebagai cara campurtangan Pemerintah melalui berbagai praktek usaha yang tidak benar, korupsi yang ditoleransi, dan pemborosan, sehingga perlu diswastakan dengan berbagai dalih.
Tidak ada yang meragukan bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara merupakan acuan filosofis dalam menetapkan kebijaksanaan bernegara dan berbangsa, termasuk kebijaksanaan ekonomi. Dasar dan pesan moral dalam Sila KeTuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab merupakan acuan yang seharusnya terlihat dalam berbagai kebijaksanaan ekonomi. Demokrasi yang menjadi sendi dasar kehidupan Republik hampir tidak terlihat selama rezim Orde Baru, kalau ada tidak lebih dari bagian dari pertunjukan untuk dikonsumsikan pada pihak/negara lain bahwa di Indonesia masih ada demokrasi. Beban terberat dari kebijaksanaan ekonomi di Indonesia adalah melaksanakan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia agar persatuan Indonesia terwujud dalam suasana demokrasi politik yang dinamis dan kesejahteraan ekonomi yang dirasakan oleh seluruh Rakyat. Membicarakan Pancasila dalam kaitan dengan Ekonomi Indonesia oleh sementara orang dianggap klasik dan membosankan ( terutama oleh para ahli ekonomi main stream). Anggapan tersebut tidak berlebihan, karena memang keadaan ekonomi dan praktek ekonomi selama ini belum ada yang mencerminkan dan dirasakan sebagai implementasi Pancasila.
Dari sudut kebijaksanaan ekonomi, UUD 1945 (yang dianggap sederhana dan saat ini sedang meningkat tuntutan untuk diamandemen, terutama oleh mereka yang kurang memahami perjalanan sejarah bangsa) telah meletakkan bentuk atau format perekonomian Indonesia melalui pasal 33 berikut penjelasannya. Pada ayat-ayat Pasal 33 secara jelas penyusunan perekonomian Indonesia dan asasnya, peranan Negara, dan fungsi kekayaan alam. Kemudian dalam penjelasan Pasal 33 disebutkan bangun koperasi (kemudian menjadi perdebatan antara apakah bentuk organisasi atau semangat koperasi) sebagai bangun usaha yang paling sesuai, peranan Negara hanya ditujukan untuk hal-hal yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sedang perusahaan perorangan hanya dibolehkan untuk hal-hal yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak. Perkembangan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa usaha perorangan (baca Swasta) yang mengedepan dan melibas usaha koperasi, bahkan BUMN sebagai representasi Pemerintah/Negara akhirnya diprivatisasi. Masalah privatisasi menjadi menarik, karena pada saat pendukung koperasi mendesak bentuk koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan Pasal 33, pendukung swasta menyatakan bahwa yang penting semangatnya seperti koperasi (dan sampai sekarang jangankan semangatnya, baunya saja belum). Tetapi pada saat beberapa BUMN kinerjanya terpuruk, maka ide privatisasi dilaksanakan tanpa ampun dan bukan semangatnya. Ironisnya justeru pada saat pemujaan swastanisasi, swasta yang diwakili para konglomerat telah menunjukkan kegagalannya. Oleh karena itu nampaknya reformasi dan restrukturisasi lembaga-lembaga ekonomi menjadi kebutuhan mutlak dengan pengaturan yang proporsional agar tidak ada lembaga ekonomi yang menjadi anak emas dan lainnya menjadi obyek belas kasihan. Pengaturan lembaga ekonomi tidak lagi terpisah-pisah antara Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Peraturan Pemerintah/Menteri tentang BUMN, dan Undang-Undang Koperasi yang selanjutnya berimplikasi kepada pengaturan pajak dan kebijaksanaan perbankan yang secara proporsional berpihak kepada bagian terbesar lembaga ekonomi dengan prinsip keterbukaan dan berkeadilan.
Masalah perpajakan yang merupakan kekuasaan Negara dan ditetapkan oleh undang-undang (artinya ditetapkan oleh wakil-wakil rakyat di DPR-Pasal 23) merupakan sumber penerimaan Negara dan juga berfungsi mengatur. Kecenderungan yang ada, bahwa fungsi penerimaan yang lebih banyak ditonjolkan, sehingga pembayar pajak terbesar perlu diberikan penghargaan dan diumumkan. Tentang fungsi pengaturan nampaknya belum terlihat (sepanjang pengetahuan penulis belum ada studi hasil pengaturan dari pajak terhadap pendapatan ataupun lembaga ekonomi). Fungsi pengaturan inilah sebenarnya yang perlu dikedepankan oleh Pemerintah berdasar Pasal 23 UUD 1945, yang tidak lain adalah kebijaksanaan ekonomi publik. Kebijaksanaan ekonomi publik (Pasal 23) oleh Pemerintah yang diharapkan dapat mengendalikan ekses/penyim-pangan dari pelaksanaan Pasal 33.
Kebijaksanaan ekonomi publik selain pajak, Pasal 23 juga mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja sebagai bagian dari kebijakan fiskal dan kebijakan pengaturan uang (kebijakan moneter) yang tidak seorangpun akan menyangkal bahwa hal tersebut sangat berpengaruh kepada aktivitas perekonomian nasional, produksi nasional, penyerapan tenaga kerja, dan seterusnya. Di sinilah peran Pemerintah sebagai agen pembangunan. Melalui pajak sebagai sumber penerimaan dan pengaturan (keseimbangan dan keadilan), kebijakan moneter, dan kebijaksanaan anggaran Pemerintah menjalankan kebijaksanaan ekonomi publik yang harus benar-benar berpihak kepada publik. Prioritas pembangunan dapat diarahkan kepada penanggulangan masalah ketenaga kerjaan termasuk peningkatan mutu tenaga kerja, sehingga memperoleh penghidupan yang layak secara manusiawi sebagaimana juga diamanatkan oleh Pasal 27(2) UUD 1945.
Apabila rangkaian pengaturan kebijaksanaan ekonomi publik (pasal 23), pengaturan kebijaksanaan produksi nasional atau aktivitas perekonomian bukan publik (Pasal 33), dan mengatasi masalah ketenaga kerjaan (Pasal 27), mengakibatkan kemampuan Ekonomi Nasional meningkat, maka tanggung jawab sosial Pemerintah/Negara akan mampu menangani bagian masyarakat yang tidak atau belum beruntung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34.
Perkembangan praktek sistem perekonomian Indonesia saat ini,
Sejak masa Orde Baru, Pancasila yang diproyekkan dengan P-4 tidak lebih dari memposisikan Pancasila sebagai leitstar statis, sehingga implikasinya kepada seluruh aspek kehidupan berbangsa bernegara menjadi lebih tersentralisir. Dalam khasanah ilmu politik disebut pelaksanaan demokrasi pada masa ini lebih bersifat diktator mayoritas yang dilaksanakan atau dicerminkan oleh partai yang selalu menang pemilu. Jiwa dan semangat keterwakilan rakyat dimanipulasi dengan pengaturan. Sistem perekonomian telah mewariskan pemihakan kepada pemilik modal dan mekanisme pasar mulai merambah dan menggerogoti kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Orde Baru melahirkan konglomerat yang tidak bertanggungjawab sebagaimana terbukti pada krisis ekonomi yang bermula pada paruh kedua tahun 1997. Bayi lain yang dilahirkan adalah ketergantungan kepada pihak asing yang dengan pandainya memuji-muji keajaiban pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan ukuran-ukuran yang dirancang sebagai sarana penjajahan bentuk baru.
Reformasi yang dimulai 1998, hanya mengganti penguasa dan tidak mengembalikan sistem ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar. Bahkan cenderung mekanisme pasar menjadi merajalela menguasai kehidupan perekonomian Indonesia. Kekuatan politik masyarakat yang telah lebih berat kepada wakil-wakil rakyat, malah cenderung memberikan tekanan yang lebih berat kepada pembangunan. Dewan Perwakilan Rakyat justeru berebut menikmati hasil pembangunan melalui berbagai pengeluaran anggaran yang tidak masuk akal. Kemudian terjadilah perubahan UUD 1945 yang diakui sebagai keberhasilan demokrasi. Perubahan yang terjadi pada sistem perekonomian cenderung makin memberatkan Rakyat. Keterlibatan asing yang diwaktu Orde Baru dilaksanakan dengan malu-malu, pada reformasi malah diberikan keleluasaan yang sebesar-bearnya. Protes yang terjadi bukanlah karena kesadaran nasional, tetapi lebih mewakili kepentingan usahawan yang baru lahir dari kalangan politisi. Suatu imitasi (peniruan) dari Amerika yang sebagaian besar Presidennya adalah terliibat dalam usaha perminyakan internasional. Karena itu tidak aneh, jika terdapat upaya-upaya pengelabuan praktek yang diharuskan dalam mekanisme pasar, pembelian perangkat hukum untuk melegalisir semua langkah-langkah pengusaaan dalam mekanisme pasar. Pengkerdilan Badan Usaha Milik Negara sebagai cara campurtangan Pemerintah melalui berbagai praktek usaha yang tidak benar, korupsi yang ditoleransi, dan pemborosan, sehingga perlu diswastakan dengan berbagai dalih.
(Oleh, Drs. Suprajitno)
Sekian.
Sumber: